NASRUDIN DAN TIGA ORANG BIJAK

Suatu pagi yang cerah di desa kecil Anatolia, Nasrudin Hoja duduk di depan rumahnya sambil menyeruput secangkir teh panas. Keledainya yang setia berdiri di sampingnya, sementara burung-burung berkicau di pepohonan. Warga desa sudah terbiasa melihat Nasrudin duduk dengan santai seperti itu — wajahnya tenang, seolah hidup ini tidak pernah membuatnya cemas.

Namun hari itu berbeda. Tiga orang asing datang ke desa, berpakaian rapi dan membawa kitab tebal. Mereka dikenal sebagai “tiga orang bijak” dari kota besar. Warga desa berkerumun ingin melihat apa yang akan terjadi, karena kabar tersebar bahwa mereka datang untuk menguji kebijaksanaan Nasrudin yang terkenal dengan kelucuannya.

Salah satu dari mereka, yang berjubah putih, maju dan berkata dengan suara lantang,
“Wahai Nasrudin Hoja, kami datang dari jauh untuk mengujimu. Kami ingin tahu apakah kebijaksanaanmu benar-benar nyata atau hanya lelucon rakyat desa.”

Nasrudin menatap mereka sambil menaruh cangkir tehnya. “Baiklah,” katanya dengan santai, “aku tidak tahu apakah aku bijak atau tidak, tapi aku tidak keberatan jika kalian ingin bertanya.”

Orang pertama tersenyum tipis. “Pertanyaanku sederhana. Di mana letak pusat dunia ini?”

Nasrudin berdiri, mengambil tongkatnya, lalu menancapkannya ke tanah di depan rumahnya. “Di sini,” katanya tegas.

“Bagaimana kau bisa begitu yakin?” tanya orang itu sinis.

Nasrudin menjawab, “Kalau kau tidak percaya, silakan ukur sendiri. Tapi bagiku, tempat di mana seseorang berdiri dengan kesadaran dan rasa syukur, di situlah pusat dunia bagi dirinya.”

Orang bijak itu terdiam. Jawaban Nasrudin sederhana, tapi dalam.

Orang kedua, yang bersorban biru dan membawa kitab, segera maju. “Kalau begitu, jawab pertanyaanku. Berapa jumlah bintang di langit?”

Nasrudin menatap langit sejenak, lalu berkata, “Jumlahnya sama banyak dengan rambut di ekor keledaiku.”

Tiga orang bijak itu tertawa. “Bagaimana mungkin kau bisa membuktikannya?”

“Silakan hitung sendiri,” kata Nasrudin dengan tenang. “Kalau jumlahnya tidak sama, aku akan mengganti keledaiku dengan yang lebih berbulu supaya seimbang.”

Warga desa tertawa mendengar jawaban itu, tapi orang bijak kedua terdiam. Ia menyadari, Nasrudin tidak sekadar menjawab lucu — ia sedang mengajarkan bahwa tidak semua hal di dunia harus dibuktikan dengan logika semata.

Kini giliran orang ketiga, yang paling muda di antara mereka. Ia tampak sombong dan yakin pertanyaannya akan mematahkan semua jawaban Nasrudin. “Pertanyaanku yang terakhir, Hoja: mana yang lebih dahulu ada, ayam atau telur?”

Nasrudin tersenyum lebar. “Ayam,” jawabnya cepat.

“Kenapa?” tanya si orang muda dengan penuh tantangan.

“Karena aku belum pernah melihat telur menyeberang jalan,” kata Nasrudin ringan sambil mengelus keledainya.

Orang ketiga tertegun. Ia ingin membantah, tapi tak tahu harus berkata apa.

Nasrudin menatap mereka bertiga lalu berkata, “Teman-teman, kalian datang dari jauh untuk mencari jawaban yang rumit. Tapi kadang, kebijaksanaan itu justru ada dalam kesederhanaan. Dunia ini tidak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata atau teori. Kadang, kita hanya perlu tertawa, bersyukur, dan menjalani hidup dengan hati yang terbuka.”

Orang pertama mulai mengangguk. “Kau benar, Hoja. Kami terlalu sombong dengan pengetahuan kami, sampai lupa menikmati makna sederhana dari kehidupan.”

Nasrudin tersenyum lembut. “Kebijaksanaan bukan tentang seberapa banyak buku yang kau baca, tapi seberapa banyak pengalaman yang bisa kau pahami. Kadang, orang bijak bukan yang paling pandai berbicara, tapi yang paling tenang menghadapi hidup.”

Angin sore bertiup pelan. Warga desa yang sejak tadi menyimak ikut terdiam. Mereka merasa mendapatkan pelajaran berharga hari itu — bukan hanya dari kata-kata Nasrudin, tapi dari ketenangan dan cara berpikirnya.

Ketiga orang bijak itu akhirnya membungkuk hormat kepada Nasrudin. “Kami datang untuk mengujimu,” kata salah satu dari mereka, “tapi ternyata kamilah yang diuji. Terima kasih, Hoja.”

Sebelum mereka pergi, Nasrudin berkata sambil tersenyum nakal, “Tunggu dulu. Bukankah kalian berjanji akan mentraktir tehnya kalau aku menjawab semua pertanyaan?”

Mereka tertawa dan segera membayar teh untuk semua orang di warung. Seluruh desa bersorak gembira.

Setelah itu, Nasrudin kembali duduk santai di depan rumahnya. Seorang anak kecil mendekat dan bertanya polos, “Hoja, kenapa kau bisa menjawab semua pertanyaan itu dengan mudah?”

Nasrudin menatap langit yang mulai kemerahan. “Karena aku tidak berusaha terlihat bijak, Nak. Aku hanya menjawab dengan hati yang jujur. Kadang, orang terlalu sibuk mencari kebenaran besar, padahal jawabannya ada di depan mata.”

Anak itu tersenyum, dan Nasrudin mengelus kepalanya. “Ingatlah,” katanya lembut, “orang bijak bukan yang tahu segalanya, tapi yang mampu tertawa, belajar, dan tetap rendah hati di setiap langkah hidupnya.”

Pesan Moral:
Kebijaksanaan sejati tidak selalu datang dari pengetahuan yang tinggi, melainkan dari hati yang sederhana, pikiran yang terbuka, dan kemampuan melihat makna dalam hal-hal kecil. Kesederhanaan, kejujuran, dan kerendahan hati sering kali lebih berharga daripada seribu teori.

Put Your Backlink Here

Senin, 22 September 2014

NASRUDIN DAN TIGA ORANG BIJAK

NASRUDIN DAN TIGA ORANG BIJAK

Berikut Salah Satu Website Yang Kami Jadikan Sumber Backlink :

AKUN FACEBOOK AMANAH TRANSPORTER Sebagai Berikut

INSTAGRAM AMANAH TRANSPORTER Sebagai Berikut

TWITTER AMANAH TRANSPORTER Sebagai Berikut

BLOGGER AMANAH TRANSPORTER

Berikut BACKLINK AMANAH TRANSPORTER

Backlink Blogger Sebagai Berikut

Website Backlink Sebagai Berikut

Backlink Website Sebagai Berikut

Blogger Backlink Sebagai Berikut :

Jasa backlink Sebagai Berikut

Tempat Backlink Sebagai Berikut :

Berikut Backlink Mentari Blogspot :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Live Streaming

Bang Jago

Mengenai Saya

Postingan Populer

Label

Jasa Apostille

Paket Tour Singapore Malaysia

Biar Senyum

Hiburan

Popular

Featured

Tags

Merdeka

Andy Mardi

CV Amanah Transporter