KISAH SEBUAH POHON APEL

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau, berdirilah sebuah pohon apel tua di tepi sungai. Akarnya menembus tanah subur, dahannya menjulang tinggi, dan buah-buahnya berwarna merah mengilap ketika musim panen tiba. Pohon itu telah tumbuh selama puluhan tahun — menjadi saksi bisu kehidupan manusia yang datang dan pergi.

Namun, pohon apel itu memiliki satu rahasia kecil: ia mencintai seorang anak kecil yang dulu sering bermain di bawah naungannya.

Setiap pagi, anak itu — namanya Arka — datang berlari sambil membawa senyum cerah. Ia memanjat pohon, bergelantungan di dahan, atau tidur di bawahnya sambil mendengarkan kicauan burung. Pohon apel pun selalu bahagia melihatnya.

“Mainlah denganku, Pohon!” seru Arka.

“Naiklah ke dahanku,” jawab pohon dengan lembut, “kau bisa memetik buah apel sesukamu.”

Dan Arka melakukannya. Ia makan apel manis dari pohon itu, tidur di pangkuan akarnya, dan tertawa riang di antara dedaunan hijau. Hari demi hari berlalu, dan mereka berdua bahagia.

Namun waktu berjalan cepat. Arka tumbuh menjadi remaja, lalu pemuda. Ia mulai jarang datang. Pohon apel menunggu, tapi yang datang hanya angin sore yang membawa debu dari ladang.

Suatu hari, Arka kembali — tapi kali ini wajahnya tidak seceria dulu.

“Aku butuh uang, Pohon,” katanya sedih. “Aku ingin pergi ke kota dan mencari kehidupan yang lebih baik.”

Pohon apel berpikir sejenak. “Aku tidak punya uang, Arka, tapi kau bisa mengambil buah-buah apelku dan menjualnya di pasar. Mungkin itu bisa membantu.”

Arka tersenyum lemah. “Terima kasih, Pohon.”

Ia memetik semua buah apel di pohon itu, lalu pergi ke kota. Pohon merasa senang karena bisa membantu, meski setelah itu ia merasa sangat sepi.

Tahun-tahun berlalu. Pohon apel menjadi lebih tua, rantingnya mulai jarang berdaun. Ia menunggu, berharap Arka akan kembali. Hingga pada suatu sore, seorang lelaki datang berjalan pelan — wajahnya lelah dan penuh keriput.

“Arka?” bisik pohon.

“Ya, Pohon. Aku kembali,” jawabnya dengan suara berat. “Hidup di kota keras sekali. Aku ingin membangun rumah, tapi aku tak punya cukup kayu.”

Pohon apel tersenyum, meski hatinya perih. “Potonglah dahan-dahanku, Arka. Gunakanlah untuk membangun rumahmu.”

“Benarkah? Tapi nanti kau akan…”

“Tak apa,” potong pohon. “Aku akan tetap bahagia selama kau bisa hidup dengan tenang.”

Dan Arka memotong dahan-dahan pohon itu. Kini pohon apel tampak gundul — tak lagi rindang seperti dulu. Tapi ia tetap berdiri tegak, meski langit sore tampak lebih kosong.

Bertahun-tahun kemudian, Arka datang lagi. Rambutnya memutih, langkahnya lambat.

“Aku lelah, Pohon,” katanya lirih. “Aku ingin berlayar jauh. Aku ingin mencari kedamaian.”

Pohon apel menatapnya penuh kasih. “Aku tak punya perahu, Arka, tapi potonglah batangku dan buatlah perahu darinya. Gunakan untuk berlayar dan menemukan ketenangan.”

Arka menatap pohon itu lama, lalu menunduk. “Kau selalu memberi, Pohon. Aku tak tahu bagaimana membalasmu.”

Pohon hanya tersenyum. “Cukuplah kau bahagia, itu sudah cukup bagiku.”

Dan sekali lagi, Arka menebang batang pohon itu hingga tersisa tunggul kecil. Ia membangun perahu dan berlayar. Pohon apel kini hampir tidak lagi tampak sebagai pohon — hanya seonggok akar dan batang tua di tepi sungai.

Waktu terus berjalan. Musim berganti, sungai menjadi lebih dangkal, dan rumput mulai tumbuh di sekitar tunggul tua itu. Hingga pada suatu pagi yang sepi, seseorang datang kembali — seorang lelaki tua renta dengan tongkat di tangannya.

Ia berjalan tertatih dan duduk di samping tunggul itu.

“Pohon…” suaranya bergetar. “Aku kembali. Aku terlalu tua untuk memetik buah, terlalu lemah untuk memotong dahan, dan terlalu letih untuk berlayar. Aku hanya ingin duduk dan beristirahat.”

Tunggul tua itu bergetar lembut, seolah tersenyum.

“Duduklah, Arka. Akar dan batangku masih cukup kuat untuk menopangmu.”

Arka duduk bersandar, menutup mata, dan tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama. “Kau selalu ada untukku, Pohon. Aku menyesal baru menyadarinya sekarang.”

Angin berhembus pelan. Dedaunan kecil yang tumbuh di sekitar tunggul bergerak lembut, seolah membelainya.

“Aku hanya ingin kau bahagia, Arka,” bisik pohon. “Itu saja.”

Dan di bawah langit sore yang tenang, dua sahabat lama itu beristirahat dalam diam — manusia dan pohon, dua makhluk yang saling mencintai tanpa pamrih.

Pesan Moral:
Cinta sejati tidak selalu harus diucapkan. Kadang ia hadir dalam bentuk pengorbanan diam-diam, seperti pohon yang selalu memberi tanpa meminta. Kita sering lupa berterima kasih pada hal-hal yang terus memberi — alam, orang tua, atau sahabat sejati — hingga akhirnya semuanya terlambat.

Apabila kamu menanam kebaikan hari ini, mungkin kau tidak akan langsung melihat hasilnya. Tapi percayalah, suatu saat nanti, ketika kau menoleh ke belakang, kau akan menemukan pohon rindang yang pernah kau rawat dengan hati. Dan di bawahnya, kau akan menemukan kedamaian yang tak ternilai. 🌳❤️

Put Your Backlink Here

Senin, 29 September 2014

KISAH SEBUAH POHON APEL

KISAH SEBUAH POHON APEL

Berikut Salah Satu Website Yang Kami Jadikan Sumber Backlink :

AKUN FACEBOOK AMANAH TRANSPORTER Sebagai Berikut

INSTAGRAM AMANAH TRANSPORTER Sebagai Berikut

TWITTER AMANAH TRANSPORTER Sebagai Berikut

BLOGGER AMANAH TRANSPORTER

Berikut BACKLINK AMANAH TRANSPORTER

Backlink Blogger Sebagai Berikut

Website Backlink Sebagai Berikut

Backlink Website Sebagai Berikut

Blogger Backlink Sebagai Berikut :

Jasa backlink Sebagai Berikut

Tempat Backlink Sebagai Berikut :

Berikut Backlink Mentari Blogspot :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Live Streaming

Bang Jago

Mengenai Saya

Postingan Populer

Label

Jasa Apostille

Paket Tour Singapore Malaysia

Biar Senyum

Hiburan

Popular

Featured

Tags

Merdeka

Andy Mardi

CV Amanah Transporter