Put Your Backlink Here

LightBlog
LightBlog

Kamis, 02 Oktober 2014

GUCI CANTIK

GUCI CANTIK

GUCI CANTIK

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau dan pepohonan rindang, hiduplah seorang pembuat guci bernama Pak Ranu. Ia terkenal sebagai pembuat guci terbaik di desanya. Setiap hari, tangannya yang terampil selalu sibuk membentuk tanah liat menjadi guci-guci indah.

Di sudut bengkel kecil miliknya, terdapat barisan guci dengan berbagai bentuk dan ukuran—ada yang tinggi ramping, ada yang bulat besar, dan ada pula yang kecil mungil. Namun di antara semua guci itu, ada satu yang terlihat sangat berbeda. Guci itu belum selesai. Bentuknya agak miring, permukaannya retak di beberapa bagian, dan warnanya belum mengilap seperti guci-guci lain.

Guci itu bernama Guci Kecil.

“Kenapa aku selalu gagal jadi cantik seperti yang lain?” keluh Guci Kecil suatu pagi, saat sinar matahari masuk menembus jendela bengkel.

Guci-guci lain hanya tertawa kecil.
“Ah, kau belum selesai, Guci Kecil,” kata Guci Biru yang berdiri megah di rak paling atas. “Lihatlah aku! Warnaku biru berkilau dan tubuhku mulus tanpa cela. Kau harus sabar. Tapi mungkin… bentukmu memang terlalu aneh.”

Guci Kecil menunduk. Ia sedih. Setiap kali Pak Ranu memilih guci untuk dijual ke kota, ia selalu melewati dirinya. Hari demi hari, Guci Kecil hanya bisa melihat teman-temannya diangkat, dibungkus rapi, lalu dibawa pergi.

“Aku ingin seperti mereka,” bisiknya pelan. “Aku ingin berguna. Aku ingin seseorang memilihku.”


Suatu sore, Pak Ranu duduk di depan bengkel sambil memeriksa guci-guci yang sudah kering. Ia melihat Guci Kecil yang tergeletak di pojok meja. Retak kecil di tubuhnya semakin jelas.

“Hm… sayang sekali,” gumam Pak Ranu. “Retak di bagian pinggir ini membuatmu tak bisa menampung air. Kalau kugosok pun, bentukmu tak akan sempurna. Tapi… entah kenapa aku belum mau membuangmu.”

Ia meletakkan Guci Kecil di jendela bengkel. Setiap hari, Guci Kecil menatap keluar, melihat anak-anak bermain, burung-burung terbang, dan bunga-bunga bermekaran.

Waktu terus berlalu. Musim kemarau datang. Matahari terik, dan hujan tak kunjung turun. Tanaman di sekitar desa mulai layu. Air sumur menurun drastis, dan penduduk desa harus bergantian mengambil air.

Suatu siang, seorang gadis kecil bernama Rani datang ke bengkel Pak Ranu. Ia membawa seember kecil air. “Pak Ranu, Ibu menyuruhku mengantar air untuk bunga di halaman depan bengkel. Katanya biar tetap hidup,” katanya sopan.

Pak Ranu tersenyum. “Terima kasih, Rani. Kau anak yang baik.”

Saat Rani hendak menuangkan air, ia melihat Guci Kecil di jendela. “Guci itu cantik, Pak,” ujarnya sambil menunjuk.

Pak Ranu terkejut. “Cantik? Hm, guci itu sebenarnya rusak. Retak dan miring, Nak.”

“Tapi… justru karena itu aku suka,” kata Rani sambil memegang Guci Kecil dengan hati-hati. “Dia terlihat unik. Boleh aku membawanya pulang, Pak?”

Pak Ranu tersenyum lembut. “Boleh, asal kau merawatnya.”


Sesampainya di rumah, Rani meletakkan Guci Kecil di halaman belakang, di bawah pohon mangga. Ia mengisinya dengan sedikit air dan menaruh beberapa bunga liar di dalamnya.

“Oh, akhirnya aku punya teman baru,” kata Guci Kecil dalam hati.

Hari demi hari, Guci Kecil menjadi tempat Rani menaruh bunga segar. Kadang bunga kamboja, kadang mawar liar, kadang bunga rumput yang Rani petik di jalan pulang sekolah. Walau retak, air di dalamnya cukup untuk menjaga bunga tetap segar.

Suatu sore, angin bertiup kencang. Beberapa helai daun kering beterbangan. Guci Kecil mendengar Rani berbicara dengan ibunya.
“Ibu, bunga-bunga di halaman jadi lebih segar, ya? Mungkin karena guci ini?”

Ibunya tersenyum. “Air di dalam guci itu menetes sedikit-sedikit lewat retakannya, Raniku. Itu membuat tanah di sekitarnya lembap. Lihat, rumput di sekitarnya tumbuh lebih hijau.”

Rani memandang kagum. Ia berjongkok, menyentuh tanah di bawah Guci Kecil. “Wah, jadi retakan ini malah membuatnya menebarkan air untuk tanaman di sekitarnya?”

Ibunya mengangguk. “Benar. Kadang sesuatu yang tampak rusak ternyata punya manfaat besar. Seperti guci itu. Ia tetap berguna dengan caranya sendiri.”

Mendengar itu, hati Guci Kecil bergetar. “Jadi… aku tidak sia-sia? Aku tidak buruk?” bisiknya pelan.

Sejak hari itu, Guci Kecil tak lagi sedih. Ia bangga karena bisa membantu bunga-bunga kecil tumbuh subur. Setiap pagi, Rani selalu tersenyum padanya dan berkata, “Selamat pagi, Guci Cantik!”

Guci Kecil terkejut mendengar panggilan itu.
“Guci Cantik? Benarkah aku cantik?”
“Tentu saja,” jawab Rani ceria. “Kecantikan bukan cuma soal bentuk luar, tapi juga seberapa besar kau memberi manfaat.”


Beberapa minggu kemudian, Pak Ranu datang berkunjung ke rumah Rani untuk mengantarkan guci pesanan ibunya. Saat itu, ia melihat Guci Kecil berdiri di bawah pohon dengan bunga warna-warni di dalamnya. Di sekelilingnya, rumput hijau tumbuh subur.

Pak Ranu terdiam lama. “Aku tak menyangka guci itu bisa jadi seindah ini,” katanya pelan.

“Iya, Pak,” jawab Rani tersenyum. “Guci ini istimewa. Ia memberi air pada bunga-bunga di sekitarnya. Tanpa dia, halaman belakangku tak akan seindah ini.”

Pak Ranu menatap Guci Kecil dengan mata berkaca-kaca. “Kadang, kita terlalu cepat menilai sesuatu dari luarnya. Padahal, setiap ciptaan punya keindahan dan kegunaannya masing-masing. Terima kasih, Rani, kau sudah mengajarkan itu pada saya.”

Rani tersenyum, lalu menatap gucinya penuh kasih. “Guci ini kini aku beri nama baru, Pak — Guci Cantik.”


Malam itu, saat bintang bertaburan di langit, Guci Cantik menatap langit dengan hati bahagia. Ia tak lagi iri pada guci-guci mengilap yang dulu menertawakannya. Kini ia tahu, setiap makhluk diciptakan dengan tujuan.

Meski tubuhnya retak, ia bisa menumbuhkan kehidupan di sekitarnya.
Meski bentuknya tak sempurna, ia bisa membawa kebahagiaan bagi orang lain.


Pesan moral:
Tidak ada yang benar-benar “tidak berguna”. Setiap anak, setiap makhluk, dan setiap benda memiliki keunikan serta peran masing-masing. Jangan malu dengan kekuranganmu, karena sering kali justru dari kekurangan itulah muncul keindahan dan manfaat yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Live Streaming

LightBlog